Jumat, 23 September 2016

Analiais Puisi yang Berjudul "Meja Makan" Karya Joko Pinurbo



Analiais Puisi yang Berjudul "Meja Makan" Karya Joko Pinurbo



Meja Makan

Tubuhmu yang pulang
Terbujur di atas meja makan.
Tubuh kenangan yang telah
Mengarungi laut,
Merambah hutan.

Aku bersama dua temanku:
Piring yang lapar,
dan gelas yang dahaga.
“berilah kami susu
(suara sunyi) malam ini
Dan kobarkanlah kopi kami.”

Gelas ternganga
Mendengar kecipak ombak
Dalam dadamu.
Piring terpana
Mendengar gemercik sungai
Dalam perutmu,
Dan bulan lahir kembar
Di biru matamu.

Saya sajak tengah malam
Yang diutus untuk melahap
Tiga potong kata aduh
Yang menggigil di bibirmu.

Berikut hasil analisisnya
 
Dalam puisi yang berjudul  “meja makan” yang di terbitkan oleh surat kabar KOMPAS dapat di analisis sebagai berikut :

Penulis melihat sosok seorang pelaut yang sudah lanjut usia, yang  kembali kerumahnya tanpa mendapat hasil tangkapan ikan. Tubuhnya yang kelelahan direbahkanya di atas meja makan yang kosong tampa isi, seharusnya dimana meja makan ada makanan untuk sekedar menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Memang memperhatinkan nasib orang yang ada dalam puisi tersebut,  ia mempunyai badan yang taklagi muda masih tetap bekerja dengan melaut bahkan takjarang menrobos rindangnya hutan. Pandangan ini bisa dibuktikan pada teks berikut : Tubuhmu yang pulang terbujur di atas meja makan. Tubuh kenangan yang telah mengarungi laut, meraba hutan. Pada teks ini mengisahkan kisah yang menyedihkan.

Pada bait yang kedua : aku bersama dua temanku: piring yang lapar dan gelas yang dahaga. “berilah kami susu (suara sunyi) malam ini dan kobarkan lah kopi kami”  kalimat ini menunjukan adanya kesedihan yang dialami, misal saja ketika penulis mencoba untuk menghayati puisi ini, seperti melihat seseorang yang sedang duduk di depan meja makan, dan di atas meja hanya terlihat sebuah  piring dan gelas yang kososng. Mungkin maksud orang tersebut ingin makan tapi tak ada makanan yang tersaji. Hari sudah semakin larut makin malam makin sepi, hanya tersisa secangkir kopi yang dingin.  Baginya tiada teman yang setia selain malam yang hening sunyi.

Pada bait ketiga ada sedikit keharuan keharuan pada puisi hal ini sesuai dengan bait berikut : Gelas ternganga mendengar kecipak ombak dalam dadamu. Piring terpana mendengar gemercik sungai dalam perutmu. dan bulan lahir kembar di biru matamu. Dengan menggunakan citra pendengaran dapat dirasakan ada suatu bunyi menggerit dalam rongga mulutmu yang berati menandakan rasa haus yang dirasakan, memperhatinkan pula saat perutmu gemuruh yang sebenarnya tanda perut yang sedang lapar, sebab tak makan. Masuk juga citra penglihatan terlihat mata yang mulai sayu karena lapar, serta berkunang-kunang bahkan hampir tak sadarkan diri. Mungkin ini yang di sebut “bulan lahir kembar di biru matamu.”
Selanjutnya bait terakhir sepanjang malam itu hanya terdengar kata kesakitan akibat lapar dari mulutnya, yang semakin laama semakin jauh kedngaranya karena lapar yang mendesaknya.


Dikutip dari :
Pinurbo, joko. 2015 “meja makan” dalam KOMPAS, minggu 9 Agustus 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar